Laman

  • Tabloid PULSA

Rabu, 25 Mei 2011

Asuransi syariah

riah-: Asuransi sya

Asuransi syariah


1.1 Asal Segala Sesuatu Itu Mubah (BOLEH)

    Ketika kita membahas tentang muamalah, maka tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah syara' yang telah ditetapkan oleh ulam terdahulu. Para ulama dan fuqoha (Ahli Fiqih), selalu mendasarkan ketetapannya dengan suatu prinsip pokok bahwa " Segala sesuatu itu awalnya mubah/ Boleh" ketetapan ini didasarkan pada dalil-dalil syari' dalam al-qur'an dan hadist Nabi SAW.
    Syaikh muhammad yusuf Al-Qardhawi dala kitabnya yang sangat terkenal Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam yang mengatakan bahwa dasar pertama yang ditetapkan islam ialah bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash-nash yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, ialah Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah, misalnya karena ada sebagian hadist lemah, atau tidak ada nash yang tegas yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah (Boleh).
    Jika kita cermati secara dalam, maka sebenarnya arena haram dalam konteks syariat islam itu sangat sempit sekali, dan arena halal justru sangatlah luas. Hal tersebut disebabkan justru nash-nash yang sahih dan tegas dalam hal haram jumlahnya sangat minim sekali. Sedangkan, sesuatu yang tidak ada keterangan Halal-Haramnya, adalah kembali kepada hukum aslal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dibolehkan Allah.
    Hal ini dapat kita lihat dalam salah satu Hadist Nabi,
"Apa saja yang allah halalkan dalam kitab-Nya, maka dia adalah halal;  dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram. Sedangkan, apa yang ia diamkan, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). oleh karena itu, terimalah dari allah kemaafannya itu, sebab seswungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikit pun." kemudian Rasulullah membaca ayat; " Dan Tuhanmu tidak lupa..." (HR Hakim dan Bazar) 
    Pada bagian lain syekh Al-Qardhawi mengatakan bahwa kaidah " asal segala sesuatu adalah halal" ini tidak hanya terbatas dalam benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan adat atau muamalah. Prinsip pokok dalam masalah ini ialah tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' (Allah dan Rasul) sendiri telah diharamkan dan dikonkretkannya. Jika dalam hal muamalah berangkat dari kaidah, " Asal sesuatu itu boleh." maka dalam hal ibadah justru sebaliknya, hanya boleh dilakukan jika ada perintah tentang hal tersebut. hal ini dapat kita lihat misalnya dalam hadist Nabi yang mengatakan,
" brangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (HR Bukhari dan muslim) 
    Dalam masalah adat dan muamalah, sumbernya bukan dari syari' (Allah dan Rasul). Tetapi justru manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.

(Dikutip dari buku : Asuransi Syariah, life and general, konsep dan Sistem operasional//Ir. Muhammad Syakir Sula., AAIJ, FIIS)

Selasa, 24 Mei 2011

Mudharabah, Murabahah, Musyarakah


Mudharabah

Mudharabah adalah: akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al mal, Lembaga keuangan Syariah) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatanyang dituangkandalam kontrak (Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000)
Ketentuan Pembiayaan :

• Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain      untuk suatu usaha yang produktif.
• Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha) ,sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
• jangka waktu usaha,tata cara pengembalian dana, danpembagian keutungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
• Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah, dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
• Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
• LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
• Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang disepakati dalam akad.
• Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan mempehatikan fatwa DSN.
• Biaya operasional dibebankan kepada mudharabah
• Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Rukun dan syarat pembiayaan :
• Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum
• Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan akad, dengan memperhatikan hal-hal berikut :
I. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukan tujuan akad
II. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat akad
III. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern

• Modal adalah sejumlah uang dan atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut :
I. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya
II. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad
III. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
• Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi :
I. Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan akad.
II. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu akad disepakati dan harus dalam bentuk prosentase (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
• Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.
• Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai pertambangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut :
I. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
II. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah yaitu keuntungan.
III. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus disyaratkan hanya untuk satu pihak


Murabahah

Murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. (Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/I/2000).
Mekanismenya adalah sebagai berikut :
• Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
• Bank menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jikapembelian dilakukan secara hutang.
• Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
• Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
• Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga maka akad jual beli harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.
• Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan erjanjian khusus dengan nasabah.

Ketentuan murabahah kepada nasabah
• Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
• Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
• Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
• Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
• Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
• Jika nilai uang muka kurang dari kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
• Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai altrnatif dari uang muka, maka:
a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.


Jaminan dalam Murabahah
Jaminan dalam murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Artinya bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Hutang dalam Murabahah
Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.

Penundaan pembayaran dalam murabahah
• Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
• Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaian melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
• Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda hutang sampai ia menjadi sanggup kembali atau berdasarkan kesepakatan.

Diskon dalam murabahah
• Jika dalam jual beli murabahah Lembaga Keuangan Syariah mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga setelah didiskon; karena diskon adalah hak nasabah. (Fatwa DSN No.16/DSN-MUI/IX/2000)
• Apabila diskon dari supplier diberikan setelah akad,maka pembagian diskon antara Lembaga Keuangan Syariah dengan nasabah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad


Musyarakah

Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. (Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000)
Ketentuan-ketentuan :


• Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut :
- Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukan tujuan akad.
- Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat akad.
• Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
• Pihak-pihak yang melakukan akad harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut :
I . Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
II. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
III. Setiap mitra memilki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
IV. Setiap mitra memberikan wewenang kepada mitra lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah
V. Seorang mitra tidak dizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
• Objek akad (modal, kerja, keuntungan, dan kerugian)
• Modal
I. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti dan sebagainya. Jika modal dalam bentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
II. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakaatan.
III. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
• Kerja
I. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah. Akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
II. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam akad.
• Keuntungan
I. Keuntungan harus dikuantitatifkan dengan jelas untuk menghindarkan perbedaandan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian musyarakah
II. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
III. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
IV. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
• Kerugian
I. Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
• Biaya operasional dan persengketaan
I. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama
  II. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.